Newest Post
Archive for Oktober 2017
Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan
Perekonomian
1)
Gerakan Benteng
Situasi
perekonomian Indonesia sebelum tahun 1950 sampai dengan bulan Juni 1950,
tingkat inflasi melambung dengan cepat, nilai uang merosot tajam, demikian pula
dengan kondisi neraca pembayaran Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan
bertambah tingginya angka pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.
Dalam penulisan ini penulis akan memulai dari mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng pada saat kabinet Natsir, kabinet Soekiman, dan pada kabinet Wilopo. Serta, bagaimana implementasinya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng baik pada pengusaha pribumi, pengusaha asing serta pada perekonomian Indonesia.
Dalam penulisan ini penulis akan memulai dari mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng pada saat kabinet Natsir, kabinet Soekiman, dan pada kabinet Wilopo. Serta, bagaimana implementasinya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng baik pada pengusaha pribumi, pengusaha asing serta pada perekonomian Indonesia.
Kebijaksanaan
Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak
bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini
diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan
menempatkan satu sector ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk
mencapai tujuan ini, berbagai lisensi impor disalurkan kepada pengusaha
nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat
dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain,
seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri
subtitusi-impor.
Pada
dasarnya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini memiliki tujuan yang
baik, namun banyaknya masalah yang dihadapi negara dan SDM pengusaha yang
kurang mengakibatkan kebijakan ini tidak berhasil.
Pada
tahun 1945, Indonesia telah mencapai kemerdekan setelah lama berjuang.
Indonesia mulai membenahi diri di berbagai bidang guna menjadi bangsa yang
mandiri dan sejahtera. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia
khususnya di bidang ekonomi. Untuk membenahi ekonomi tersebut, telah
diberlakukan berbagai kebijakan, hal ini mulai dilakukan sejak tahun 1945.
Sebagai contoh, pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia, gerakan Plan Kasimo, Gerakan Gunting Syafruddin dan masih banyak
lagi. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk membenahi kondisi ekonomi.
Kebijaksanaan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir, dimana
kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para
pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha
pribumi.
Sistem
Ekonomi Gerakan Bernteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak
lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di
Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta
pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu
perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor
disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan
dengan modal yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan
diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan
dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Kedua,
implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para
importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk
Cina. Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan wawasan
pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah
melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu,
misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi
terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan
menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau
pedagang baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri
sebagai anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat
tersebar di seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan
perusahaan dan dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
Kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng antara tahun 1950-1953 merupakan indonesianisasi
yang dipaksakan oleh pemerintah dan mengakibatkan gagalnya tumbuhnya investasi
kapital asing (Belanda) . Indonesianisasi bersamaan dengan industrialisasi pada
zaman tahun-tahun awal pemerintahan Sukarno mendapatkan momentum kembali meski
dalam ruang yang masih terbatas. Indonesianisasi yang penting adalah pengakuan
atas identitas etnik yang menyatu dalam perdagangan dan manufaktur dalam
usaha-usaha baru yang dibentuk.
Kajian
historis terhadap proses perubahan sosial-ekonomi pribumi dalam lintasan tiga
zaman ini mendapatkan fakta-fakta menarik yang saling terkait antara
peristiwa-peristiwa sejarah natural seperti terjadinya malaise, perang revolusi
dan dekolonisasi. Tampak bahwa secara makro, perubahan ekolnomi pribumi sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan yang mendorong rakyat mengembangkan
kreatifitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup pada masa-masa sulit.
Perekonomian Indonesia
Pasca Kemerdekaan
Dalam
tahun-tahun berikutnya memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan,
banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk
pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian
Barat. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan
bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda dan hal
tersebut merupakan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah
Indonesia. Meskipun pemimipin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa masalah
Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di
antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang
Masalah Irian Barat di bahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik
biasa, karena Indonesia pada waktu itu sedang menghadapi berbagai masalah
lainnya, termasuk masalah ekonomi yang perlu segera di tanggulangi. Ironis
memang peraturan yang baru dikeluarkan yang pada dasarnya untuk menekan para
pengusaha-pengusaha asing agar tidak memonopoli produk import namun justru juga
merugikan bagi para pengusaha import pribumi sendiri. Dari sinilah maka muncul
pemikiran dari seorang tokoh ekonomi yang sekian lam berkelana ke luar negeri
dan dipanggil kembali ke Indonesia guna menyeleseikan masalah dan persoalan
bangsa terutama di bidang perekonomian.
Perhatian
terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada
hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah
mengubah struktur ekonomi pada umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi
nasional. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo mencoba mempraktekkan pemikirannya itu
pada sektor perdagangan. Beliau berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus
selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Dan semenjak itu Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam
Kabinet Natsir.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Implementasi
nasionalisasi ekonomi dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang dicanangkan dan
diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi
negara atas lembaga ekonomi dan perundanga-undangan yang diterapkan pada tahun
1950-an. Implementasi pokok dari Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang kelihatan
adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan
pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Akibat
dari kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng maka pemeriksaan barang eksport
akan diperketat, untuk menghapus klaim atas kwalitet dan bungkusan
barang-barang eksport. Karena banyaknya para pengusaha-pengusaha pribumi yang
menginginkan ikut serta dalam kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng
tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer
semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif.
Pemerintah
mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan
impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Ditinjau dari segi
pengendalian nasional atas perdagangan impor, kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan
Benteng berhasil karena pada pertengahann tahun 1950-an lebih dari 70 persen
dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. Namun
dalam waktu singkat sudah keliatan bahwa kebijakan Sistem Ekonomi gerakan
Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan banyaknya ”importir
aktentas”, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan peluang dengan baik untuk
memperoleh ketrampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru
menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir
etnis Cina.
Hal
ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh,
akhirnya mendorong pemerintah Indonesia segara menghapus kebijakan Sistem
Ekonomi gerakan Benteng sekitar tahun 1953-an. Karena kebijakan Sistem Ekonomi
gerakan Benteng dianggap sebagai upaya pokok untuk pengembangan wiraswasta
nasional, maka kegagalan kebijakan ini menciptakan iklim yang condong untuk
menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan
wiraswsata nasional.
2)
Kebijakan Gunting Syafruddin
a.
Sanering
Pada
tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama
"gunting syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi
dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA
(Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB
(bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank
Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
· Gunting
Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada
jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
· Gunting
Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi
(khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut
kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank
dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai
semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April,
bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan
tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian
kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan
kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara
sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan
bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan
di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula
uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi
situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk,
inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut,
bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga
barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya
diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada
tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp
1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp
50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus
menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember
1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti
juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno
membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara
televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik
Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin.
Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50
persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli
tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada
tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan
drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno
melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen).
Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita
hanya 80 dolar US.
Sebelum
sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp
250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh
puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah
sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik.
Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp
500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr
(naik 2 kali).
Sesudah
itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis
moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah
mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us
$ menjadi rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat
money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian
nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti,
buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang
sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu
tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin
banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering
Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai
uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun. Dampak dari sanering, menimbulkan banyak
kerugian karena daya beli turun drastis. Tujuan dari sanering, mengurangi
jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program
sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati
ambruk karena hiper inflasi.
Nilai
uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah
menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat
dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi
(hiperinflasi). Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan
dilakukan secara tiba-tiba. Contoh: Pada sanering, bila terjadi
sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau
0,001 liter bensin.
b.
Redonominasi
Topik
yang sedang menarik perhatian publik saat ini adalah redenominasi rupiah.
Rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang
kritik dari berbagai pihak dari ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku
bisnis dan lain-lainnya. Bank Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah
tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam
redenominasi meski tiga angka nol terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi
Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi
pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak
dari Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli
tetap sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta
merepotkan pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar
bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar
Belakang Kebijakan Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan
redenominasi atas mata uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset
World Bank yang menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata
uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah
air Rp 100.000, hanya kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan
dari Redenominasi, menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman
dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi
Indonesia dengan negara regional. Nilai uang terhadap barang dari
Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan
pecahan uang saja yang disesuaikan.
Kondisi
saat dilakukannya Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro
ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa
transisi, Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai
masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
3)
Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada
tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai
macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan
sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan
menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya
serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat
membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan
pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada
16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang
akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas
bantuan Raja Willem I, maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank
sirkulasi milik pemerintah Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham
milik De Javasche Bank adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel
Maatschappij (NHM) dan beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal
Du Bus de Gisignies. Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann
dinyatakan sebagai Presiden De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai
sekretarisnya. De Javasche Bank seara resmi beroperasi setelah mengalami
berbagai macam struktur organisasinya adalah pada tanggal 20 April 1830.
Pada
tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari
segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan.
Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank
berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a.
Mengeluarkan uang kertas.
b.
Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c.
Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.
Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat
berharga atau barang dagangan.
e.
Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek
kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.
Menyelenggarakan kliring antarbank.
Dalam
periode ini, De Javasche Bank telah berkembang pesat. Selain kantor pusatnya di
Batavia, De Javasche Bank telah memiliki 16 kantor cabang, yaitu Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja,
Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado. Serta
terdapat beberapa kantor lainnya diluar negeri seperti Amsterdam, Belanda, dan
New York, Amerika Serikat.
Yayasan
Pusat Bank Indonesia diberi wewenang oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan
sabagai bank umum yang memberi kredit, mengeluarkan obligasi, menerima
simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan
penerangan dalam bidang ekonomi. Hal itu dilakukan karena dirasa tidak mungkin
mendirikan bank negara dengan waktu yang singkat. Barulah tanggal 17 Agustus
1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu Bank
Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.
Pasca
berakhirnya Perang Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang
termasuk dalam bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi
bank sirkulasi dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang
menjadi titik beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua
yaitu wilayah pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang
dikuasai NICA. Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca
kemenangan sekutu atas Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang
perekonomian, di wilayah Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral
yang bernama Bank Negara Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral
dipegang oleh De Javasche Bank.
Selama
periode 1945-1949 De Javasche Bank terus membuka cabang-cabang kantornya di
beberapa kota di Indonesia. De Javasche Bank terus bertahan meskipun pada
periode tersebut, terjadi peperangan sengit antara pro-republik Indonesia
dengan pasukan NICA. Barulah pasca KMB terdapat suatu peraturan yang
mengukuhkan DJB sebagai bank sirkulasi/bank sentral di wilayah Republik
Indonesia Serikat. Sementara BNI yang sebelumnya adalah bank sentral milik
pemerintah RI ditugaskan sebagai bank pembangunan.
De
Java Bank merupakan bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah
kekuasaan modal asing. memang sangat aneh bank ini terletak di Indonesia namun
kekuasaan dipegang oleh orang asing. Dari situlah pemerintah Indonesia merasa
risau dan berupaya untuk menjadikan bank ini menjadi milik bangsa Indonesia
secara murni tanpa campur tangan orang asing, dengan melakukan nasionalisasi De
Javache Bank. Tujuan nasionalisasi ini bertujuaan untuk memulihkan perekonomian
bangsa Indonesai pasca gangguan dari Benda, selain itu Pemerintah juga
menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga Indonesia harus mengambil
ketegasan.
Alasan
dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Desakan
nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah
Indonesia sejak Indonesia berdiri. Namun, pelaksanaan konkritnya baru
terasa pasca KMB atau tepatnya pada tahun 1951. Menteri Keuangan saat itu,
Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk
menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Dan berlanjut menyampaikannya
kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu
saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang
terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet (Ketua Panitia),
Moh. Soediono, Soemitro Djojohadikusumo dan lain-lain.
Dalam
proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19
Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak
Belanda. Sikap pemerintah mengenai nasionalisasi DJB ini hanya berarti
pelaksanaa saja dari pernyataan di KMB. Panitia nasionalisasi oleh
pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan
mengadakan berbagai negoisasi nasionalisasi DJB atas nama Pemerintah RI. Selain
itu, panitia ini juga berhak memberikan usulan kepada pemerintah mengenai tata
cara nasionalisasi serta mengajukan usulan RUU Nasionalisasi. Pada 15 Desember
1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24
tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Telah disahkannya
undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai
bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Untuk sementara aturan
operasional DJB masih didasarkan pada De Javasche Bankwet 1922.
Langkah
berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank
sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan
Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. Pada tanggal 10 April
1953, Parlemen telah selesai membicarakannya dan memberikan persetujuan
atas RUU tersebut setelah mengadakan beberapa perubahan yang penting di
dalamnya. Pada tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut telah disahkan oleh Presiden
Soekarno dan diumumkan pada 2 Juni 1953. Dan pada akhirnya, UU No. 11 Tahun
1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli
1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia.
Dengan
lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di
bidang ekonomi dan moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada
akhirnya Indonesia mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan
tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa
dengan Bank Indonesia sebagai ujung tombaknya.
4)
Pembentukan Biro Perancang Negara
Pemerintah
Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera
mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat
pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet
Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya yang isinya adalah mencukupi
kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum(pemilu); melaksanakan
politik luar negeri bebas aktif; dan melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan
kolonialisme.
Jenderal
Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan Kabinet Ampera dengan
membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni 1968. Tugas pokok Kabinet
Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dibidang
ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan
Orde Baru melaksanakannya melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Repelita
dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru
diarahkan pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari
produksi nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan
Indonesia memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran
pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan
prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu
program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang.
Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima
tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan
jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang
direncanakan selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya
dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan
dalam system pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan
Lima Tahun (PELITA).
1)
Pelita I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita
1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase
stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil.
Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan.
Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965
harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju
inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut
terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi dikorbankan demi
kepentingan politik.
Pada masa orde baru,
kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan
menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat
ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian
dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1
adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan
pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya
selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.
2)
Pelita II
Pelita 1 berakhir pada
31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan
pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali
jendral soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971
berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN
1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a)
Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat;
b) Tersedianya
bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan masyarakat;
c)
Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)
Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)
Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan
pelita II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program
kerja cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang
meliputi:
a)
Meningkatkan stabilitas politik;
b)
Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)
Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)
Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)
Melaksanakan pemilihan umum.
3) Pelita
III
Pada 31 Maret 1979,
Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah
pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan
dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan
mencakup:
1) Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia;
2)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3) Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
b) Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)
Bagi rakyat banyak;
3)
Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
4) Pemerataan
pembagian pendapatan;
5) Pemerataan
memperoleh kesempatan kerja;
6)
Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi
muda dan kaum wanita;
8)
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)
Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih
menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk cabinet
pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program
kerja cabinet pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang
meliputi:
1.
Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan
hasil pembangunan;
2.
Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3.
Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4.
Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5.
Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan
dan pengamalan pancasila;
6.
Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7.
Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada
kepentingan nasional.
4)
Pelita IV
Pelita
III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV
yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan
diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden
seharto membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah
pembangunan sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri,
baik untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.
Sasaran
pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:
a) Bidang
politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan
Pancasila).
b) Bidang
pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu
pendidikan.
c)
Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan
penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
5)
Pelita V
Pelita
IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang
dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan
program pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa
tinggal landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP
II), yang akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik
berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector
industri, khususnya industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry
yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi
yang seimbang antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah
maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.
6) Pelita VI
Pelita
V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang
dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu
menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan
memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan program pembangunan jangka
panjang kedua (PPJP II) . Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan
sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta
bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sasaran pembangunan industry dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai
amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah
pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke
seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan
peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry
hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan
industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector ekonomi
lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea
rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis
ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun,
pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter
melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan
terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah
orde baru.
5)
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada
masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955),
menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru
yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara
pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang
diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan
penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua
tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan
pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar
dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Tujuan Dan Hambatan
Tujuan
dari program ini adalah:
i.
Untuk memajukan pengusaha pribumi.Agar
para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
ii.
Pertumbuhan dan perkembangan
pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional.
iii.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu
adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Sistem
ekonomi ini kemudian didukung dengan :
·
Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit
dan lisensi bagi usaha swasta nasional .
·
Pemerintah memberikan perlindungan agar
pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing.
Sistem
ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog
tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan
sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa
untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki
zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini
diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat
produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah.
Sementara itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus
mencetak uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai
proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan
Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin
tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang
Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan
pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem
Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha
agar bisa memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana
segar pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena: Kredit yang digunakan ternyata tidak
digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka
mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara
sepihak. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong
kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi.
Kegagalan
pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang
berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
Alasan kegagalan
Kabinet Ali
o
Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam
TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh
Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
TNI-AD.
o
Persaingan ideologi juga tampak dalam
tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh
pergolakan di daerah.
o
Persaingan antara kelompok agama dan
nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan
keadaan politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
o
Ingin menyatukan pengusaha pribumi &
tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan
dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi.
o
Orang-orang pribumi yang terlatih dan
berpengalaman terlalu sedikit.
o
Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat
dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing.
6) Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada
masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas
biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan
disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas
RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT
diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT
mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat
dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor
dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan
gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Perekonomian
Sabtu, 28 Oktober 2017
Posted by Unknown