Newest Post

Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Perekonomian
1)      Gerakan Benteng
Situasi perekonomian Indonesia sebelum tahun 1950 sampai dengan bulan Juni 1950, tingkat inflasi melambung dengan cepat, nilai uang merosot tajam, demikian pula dengan kondisi neraca pembayaran Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan bertambah tingginya angka pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.
Dalam penulisan ini penulis akan memulai dari mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng pada saat kabinet Natsir, kabinet Soekiman, dan pada kabinet Wilopo. Serta, bagaimana implementasinya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng baik pada pengusaha pribumi, pengusaha asing serta pada perekonomian Indonesia.
Kebijaksanaan Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan menempatkan satu sector ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisensi impor disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
Pada dasarnya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini memiliki tujuan yang baik, namun banyaknya masalah yang dihadapi negara dan SDM pengusaha yang kurang mengakibatkan kebijakan ini tidak berhasil.
Pada tahun 1945, Indonesia telah mencapai kemerdekan setelah lama berjuang. Indonesia mulai membenahi diri di berbagai bidang guna menjadi bangsa yang mandiri dan sejahtera. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya di bidang ekonomi. Untuk membenahi ekonomi tersebut, telah diberlakukan berbagai kebijakan, hal ini mulai dilakukan sejak tahun 1945. Sebagai contoh, pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, gerakan Plan Kasimo, Gerakan Gunting Syafruddin dan masih banyak lagi. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk membenahi kondisi ekonomi.
Kebijaksanaan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir, dimana kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha pribumi.
Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Kedua, implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina. Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan wawasan pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau pedagang baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri sebagai anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat tersebar di seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan perusahaan dan dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
Kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng antara tahun 1950-1953 merupakan indonesianisasi yang dipaksakan oleh pemerintah dan mengakibatkan gagalnya tumbuhnya investasi kapital asing (Belanda) . Indonesianisasi bersamaan dengan industrialisasi pada zaman tahun-tahun awal pemerintahan Sukarno mendapatkan momentum kembali meski dalam ruang yang masih terbatas. Indonesianisasi yang penting adalah pengakuan atas identitas etnik yang menyatu dalam perdagangan dan manufaktur dalam usaha-usaha baru yang dibentuk.
Kajian historis terhadap proses perubahan sosial-ekonomi pribumi dalam lintasan tiga zaman ini mendapatkan fakta-fakta menarik yang saling terkait antara peristiwa-peristiwa sejarah natural seperti terjadinya malaise, perang revolusi dan dekolonisasi. Tampak bahwa secara makro, perubahan ekolnomi pribumi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan yang mendorong rakyat mengembangkan kreatifitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup pada masa-masa sulit.
Perekonomian Indonesia Pasca Kemerdekaan
Dalam tahun-tahun berikutnya memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda dan hal tersebut merupakan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Meskipun pemimipin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa masalah Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang Masalah Irian Barat di bahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik biasa, karena Indonesia pada waktu itu sedang menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah ekonomi yang perlu segera di tanggulangi. Ironis memang peraturan yang baru dikeluarkan yang pada dasarnya untuk menekan para pengusaha-pengusaha asing agar tidak memonopoli produk import namun justru juga merugikan bagi para pengusaha import pribumi sendiri. Dari sinilah maka muncul pemikiran dari seorang tokoh ekonomi yang sekian lam berkelana ke luar negeri dan dipanggil kembali ke Indonesia guna menyeleseikan masalah dan persoalan bangsa terutama di bidang perekonomian.
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Soemitro Djoyohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah mengubah struktur ekonomi pada umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo mencoba mempraktekkan pemikirannya itu pada sektor perdagangan. Beliau berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Dan semenjak itu Dr. Soemitro Djoyohadikusumo diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam Kabinet Natsir.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Implementasi nasionalisasi ekonomi dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundanga-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an. Implementasi pokok dari Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Akibat dari kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng maka pemeriksaan barang eksport akan diperketat, untuk menghapus klaim atas kwalitet dan bungkusan barang-barang eksport. Karena banyaknya para pengusaha-pengusaha pribumi yang menginginkan ikut serta dalam kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif.
Pemerintah mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Ditinjau dari segi pengendalian nasional atas perdagangan impor, kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng berhasil karena pada pertengahann tahun 1950-an lebih dari 70 persen dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. Namun dalam waktu singkat sudah keliatan bahwa kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan banyaknya ”importir aktentas”, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan peluang dengan baik untuk memperoleh ketrampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir etnis Cina.
Hal ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya mendorong pemerintah Indonesia segara menghapus kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng sekitar tahun 1953-an. Karena kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng dianggap sebagai upaya pokok untuk pengembangan wiraswasta nasional, maka kegagalan kebijakan ini menciptakan iklim yang condong untuk menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswsata nasional.
2)      Kebijakan Gunting Syafruddin
a.       Sanering
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama "gunting syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
·           Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
·          Gunting Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar US.
Sebelum sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik. Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti, buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Dampak  dari sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis. Tujuan dari sanering, mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi.
Nilai uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi). Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba. Contoh:  Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.
b.      Redonominasi
Topik yang sedang menarik perhatian publik saat ini adalah redenominasi rupiah. Rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang kritik dari berbagai pihak dari ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku bisnis dan lain-lainnya. Bank Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam redenominasi meski tiga angka nol terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak dari Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar Belakang Kebijakan Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan redenominasi atas mata uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset World Bank yang menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah air Rp 100.000, hanya kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan dari Redenominasi, menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara regional. Nilai uang terhadap barang dari Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Kondisi saat dilakukannya Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa transisi, Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

3)      Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada 16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas bantuan Raja Willem I, maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi milik pemerintah Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham milik De Javasche Bank adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) dan beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies. Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann dinyatakan sebagai Presiden De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai sekretarisnya. De Javasche Bank seara resmi beroperasi setelah mengalami berbagai macam struktur organisasinya adalah pada tanggal 20 April 1830.
Pada tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan. Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a. Mengeluarkan uang kertas.
b. Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c. Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.  Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat berharga atau barang dagangan.
e.  Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.   Menyelenggarakan kliring antarbank.
Dalam periode ini, De Javasche Bank telah berkembang pesat. Selain kantor pusatnya di Batavia, De Javasche Bank telah memiliki 16 kantor cabang, yaitu Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado. Serta terdapat beberapa kantor lainnya diluar negeri seperti Amsterdam, Belanda, dan New York, Amerika Serikat.
Yayasan Pusat Bank Indonesia diberi wewenang oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan sabagai bank umum yang memberi  kredit, mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Hal itu dilakukan karena dirasa tidak mungkin mendirikan bank negara dengan waktu yang singkat. Barulah tanggal 17 Agustus 1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu Bank Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.
Pasca berakhirnya Perang Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi bank sirkulasi dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang menjadi titik beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua yaitu wilayah pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang dikuasai NICA. Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca kemenangan sekutu atas Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang perekonomian, di wilayah Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral yang bernama Bank Negara Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral dipegang oleh De Javasche Bank.
Selama periode 1945-1949 De Javasche Bank terus membuka cabang-cabang kantornya di beberapa kota di Indonesia. De Javasche Bank terus bertahan meskipun pada periode tersebut, terjadi peperangan sengit antara pro-republik Indonesia dengan pasukan NICA. Barulah pasca KMB terdapat suatu peraturan yang mengukuhkan DJB sebagai bank sirkulasi/bank sentral di wilayah Republik Indonesia Serikat. Sementara BNI yang sebelumnya adalah bank sentral milik pemerintah RI ditugaskan sebagai bank pembangunan.
De Java Bank merupakan bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah kekuasaan modal asing. memang sangat aneh bank ini terletak di Indonesia namun kekuasaan dipegang oleh orang asing. Dari situlah pemerintah Indonesia merasa risau dan berupaya untuk menjadikan bank ini menjadi milik bangsa Indonesia secara murni tanpa campur tangan orang asing, dengan melakukan nasionalisasi De Javache Bank. Tujuan nasionalisasi ini bertujuaan untuk memulihkan perekonomian bangsa Indonesai pasca gangguan dari Benda, selain itu Pemerintah juga menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga Indonesia harus mengambil ketegasan.
Alasan dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Desakan nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah Indonesia sejak Indonesia berdiri. Namun, pelaksanaan konkritnya baru  terasa pasca KMB atau tepatnya pada tahun 1951. Menteri Keuangan saat itu, Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Dan berlanjut menyampaikannya kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet (Ketua Panitia), Moh. Soediono, Soemitro Djojohadikusumo dan lain-lain.
Dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19 Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak Belanda. Sikap pemerintah mengenai nasionalisasi DJB ini hanya berarti pelaksanaa saja dari pernyataan di KMB.  Panitia nasionalisasi oleh pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan mengadakan berbagai negoisasi nasionalisasi DJB atas nama Pemerintah RI. Selain itu, panitia ini juga berhak memberikan usulan kepada pemerintah mengenai tata cara nasionalisasi serta mengajukan usulan RUU Nasionalisasi. Pada 15 Desember 1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Telah disahkannya undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Untuk sementara aturan operasional DJB masih didasarkan pada De Javasche Bankwet 1922.
Langkah berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. Pada tanggal 10 April 1953, Parlemen telah selesai membicarakannya dan memberikan  persetujuan atas RUU tersebut setelah mengadakan beberapa perubahan yang penting di dalamnya. Pada tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut telah disahkan oleh Presiden Soekarno dan diumumkan pada 2 Juni 1953. Dan pada akhirnya, UU No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli 1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia.
Dengan lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi dan moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada akhirnya Indonesia mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa dengan Bank Indonesia sebagai ujung tombaknya.
4)      Pembentukan Biro Perancang Negara
Pemerintah Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya yang isinya adalah mencukupi kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum(pemilu); melaksanakan politik luar negeri bebas aktif; dan melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan kolonialisme.
Jenderal Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan Kabinet Ampera dengan membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni 1968. Tugas pokok Kabinet Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dibidang ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan Orde Baru melaksanakannya melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Repelita dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru diarahkan pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).
1)            Pelita I
 Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita 1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik.
Pada masa orde baru, kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1 adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
 Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.
2)            Pelita II
Pelita 1 berakhir pada 31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali jendral soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a)      Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat;
 b)      Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan masyarakat;
c)      Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)     Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)      Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan pelita II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program kerja cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang meliputi:
a)      Meningkatkan stabilitas politik;
b)      Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)      Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)     Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)      Melaksanakan pemilihan umum.
3)      Pelita III
Pada 31 Maret 1979, Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan mencakup:
 1)      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia;
2)      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
 3)      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
 b)  Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)      Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)      Bagi rakyat banyak;
3)      Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
 4)      Pemerataan pembagian pendapatan;
 5)      Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
6)      Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)      Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi muda dan kaum wanita;
8)      Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)      Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk cabinet pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program kerja cabinet pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1.      Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan hasil pembangunan;
2.      Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3.      Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4.      Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5.      Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan dan pengamalan pancasila;
6.      Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7.      Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada kepentingan nasional.
4)      Pelita IV            
Pelita III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden seharto membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah pembangunan sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.            
Sasaran pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:
 a)      Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan Pancasila).
 b)      Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu pendidikan.
c)      Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
5)      Pelita V            
Pelita IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan program pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II), yang akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector industri, khususnya industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.
 6)      Pelita VI            
Pelita V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II) . Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.            
 Sasaran pembangunan industry dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector ekonomi lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru.
5)      Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Tujuan Dan Hambatan
Tujuan dari program ini adalah:
                                                        i.            Untuk memajukan pengusaha pribumi.Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.  
                                                      ii.            Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
                                                    iii.            Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Sistem ekonomi ini kemudian didukung dengan :
·         Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional .
·         Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing.
Sistem ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah.  Sementara itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha agar bisa memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana segar pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena: Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara sepihak. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi.
Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
Alasan kegagalan Kabinet Ali 
o   Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD. 
o   Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah. 
o   Persaingan antara kelompok agama dan nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. 
o   Ingin menyatukan pengusaha pribumi & tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi.
o   Orang-orang pribumi yang terlatih dan berpengalaman terlalu sedikit.
o   Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing.
6)      Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.

RPLT mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Kondisi Politik pada Masa Demokrasi Liberal




Hallo..
Kembali lagi dengan saya ^_^

Nah kali ini, saya akan membahas tentang keadaan-keadaan Indonesia saat 7 kabinet pada Masa Demokrasi Liberal
Oke.. Langsung aja.
Selamat Membaca.



Pada tahun 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha pembentukan partai (kabinet formatur). Bila dalam perjalanannya kemudian salah satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang (umumnya ketua partai) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal adalah :

1.  Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1.   Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.  Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.  Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.  Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.  Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Kendala/masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.   Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
2.  Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir:
1.   Berhasil melangsungkan perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.
2.  PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Penyebab Runtuhnya Kabinet Natsir :
Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi- tradisi otoriter, maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan negeri itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan- harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Akan tetapi, pada tahun 1957, percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah- masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh Revolusi tidak terwujud.
Suatu ketidakefisienan dalam suatu pemerintahan pastilah terjadi. Program- program yang telah direncanakan oleh pemerintah dan disusun dengan sebaik- baiknya, bisa saja dalam pelaksanaannya terjadi suatu ketimpangan. Atau bisa juga semua persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan sudah sangat demikian baiknya, namun masih adanya ketidakpuasan yang dialami oleh masyarakat.
Sistem pemerintahan yang pernah ada di Indonesia tentunya pernah mengalami suatu masa kejayaan. Akan tetapi, setelah kejayaan tersebut diraih sesuai dengan siklus sejarah maka suatu pemerintahan akan mengalami suatu penurunan hingga tibalah saat- saat keruntuhannya. Begitu pula dengan kabinet Natsir, setelah berhasil memimpin dan menata Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi penyebab runtuhnya kabinet Natsir.
Penyebab jatuhnya kabinet Natsir dikarenakan kegagalan kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dan adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan peraturan pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.
Kabinet natsir didimisioner sejak 21 Maret 1951 dan mengundurkan diri setelah DPR menerima mosi S. Hadikusumo tentang pencabutan PP Nomor 39/1950 tentang pembekuan DPRD. Menteri Asaat (Menteri Dalam Negeri) tidak menyetujui mosi tersebut dan kabinet sependapat dengan Asaat, maka kemudian mengundurkan diri. Kabinet Natsir mengundurkan diri karena tidak mau menerima mosi DPR, walaupun Kabinet belum di jatuhi Mosi Tidak Percaya dari DPR ini menjadi sifat dari Kabinet-kabinet pada masa UUDS 1950, walaupun sistem yang dianut oleh UUDS 1950 adalah perlementer, dimana parlemen dapat menggulingkan Kabinet, tetapi sepanjang 1950-1959 kabinet tidak hanya mosi tidak percaya, tetapi suara-suara luar kabinet sudah menyebabkan Kabinet mengundurkan diri.

2. Kabinet Soekiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo (Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo (PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.       Menjamin keamanan dan ketentraman.
2.       Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.       Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.       Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5.       Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman :
1.   Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut:
1.   Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran.
2.  Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
3.  Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4.  Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah  Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini  yang menimbulkan pertikaian politik dan konfik kepentingan.
Kebijakan lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya.  Kebijakan ini ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan  Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman.
Kondisi Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan  perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA.  Nota Menteri Luar Negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar negeri bebas aktif.  Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.

3. Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
1.       Program dalam negeri :
o   Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD).
o   Meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.       Program luar negeri :
o   Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda.
o   Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
o   Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut :
1.       Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
2.       Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
3.       Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
4.       Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
5.       Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 munculah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
§  Latar Belakang
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
§  Kronologi Peristiwa
         Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur merencanakan untuk mencetak sawah percontohan di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)
Kabinet keempat adalah kabinet Ali Sastroamidjojo. Betapapun kabinet ini tanpa dukungan Masyumi, namun kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
1.       Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2.       Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.       Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.       Penyelesaian Pertikaian politik.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu :
1.       Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
2.       Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika, terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti:
1.       Berkurangnya ketegangan dunia.
2.       Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik rasdiskriminasi di negaranya.
3.       Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB, karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
Kendala/masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.       Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2.       Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3.       Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
4.       Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
5.       Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.

§  Kemunduran Kabinet Ali Sastroamijoyo I
Sama seperti nasib dari kabinet-kabinet sebelumnya, pada akhirnya Kabinet Ali Satroamijoyo I pun kemudian berakhir dengan mengundurkan diri. Alasan pengunduran ini adalah karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi dengan baik. Memang pada saat itu banyak sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh PNI sendiri juga menjadi alasan utama.
NU, tidak puas terhadap kinerja kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni. Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.

5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1.   Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.  Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
3.  Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
4.  Perjuangan pengembalian Irian Barat.
5.  Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap :
1.   Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2.  Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3.  Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
4.  Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/masalah yang dihadapi oleh kabinet ini :
1.   Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
2.  Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh.
3.  Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

§  Latar Belakang
Pada tanggal 29 Juli 1955, Mohammad Hatta mengumumkan 3 orang formatur untuk membentuk kabinet baru. Ketiga formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (nonpartai). Ketiga formatur itu mencapai kesepakatan dan persetujuan menempatkan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri dan mentri pertahanan. Namun kesulitan muncul karena Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil Presiden. Kemudian muncul perbedaan pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur mengusulkan kepada Soekarno untuk mengnonaktifkan Mohammad Hatta dari jabatan dari jabatan wakil Presiden selama ia menjadi perdana mentri. Dalam pembahasan masalah itu ketiga formatur tidak mencapai titik temu.
Pada tanggal 3 Agustus 1955, ketiga formatur mengembalikan mandat. Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanudin Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Dalam program kabinet Burhanudin Harahap masalah pemilihan umum masih juga menjadi perhatian. Sesuai dengan rencana semula, pemilihan umum untuk anggota parlemen akan diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 dan untuk pemilihan anggota Konstituante pada tanggal 15 desember 1955.
Selama tiga bulan pertama sejak Indonesia merdeka Indonesia hanya menganut dan mengenal partai tunggal yaitu PNI yang didasarkan pada keputusan PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP, pemerintah mengeluarkan maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat agar mendirikan partai-partai politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai dengan Desember 1945 tidak kurang 9 partai lahir.
§  Pelaksanaan Pemilu
Di dorong oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakt menuntut diadakan pmilu. Pesiapan pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. pemerintah membntuk panitia pemilu pada bulan Mei 1954. Panitia tersebut merencanakan pelaksanaan pemilu dalam dua tahap, yaitu :
1.    Pemilu tahap pertama akan dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
2.    Pemilu tahap kedua akan dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (dewan pembuat UUD)
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rncana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Pemilu 1955 sekalipun merupakan yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia ternyata mempunyai beberapa catatan positif, antara lain :
1.   Tingkat partisipasi rakyat sangat besar ( + 90 % dari semua warga punya hak pilih).
2.  Prosentase suara yang sah cukup signifikan ( + 80 % dari suara yang masuk) padahal + 70 % penduduk Indonesia masih buta huruf.
3.  Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.
Adapun catatan negatifnya, yaitu :
1.   Adanya krisis Ketatanegaraan. 
Hal tersebut memicu lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, mengapa? Karena akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.
2.  Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.
Tidak adanya pemenang mayoritas pada saat itu mengakibatkan sistem pemerintahan tak stabil karena kekuasaan terbagi bagi ke dalam berbagai aliran politik.
3.  Kekecewaan di Partai Politik.
Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat rakyat jelata.
§  Hasil Pemilu I
Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
§  Hasil Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
1.   Perjuangan pengembalian Irian Barat.
2.  Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3.  Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.  Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.  Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah :
a.   Pembatalan KMB.
b.   Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
c.   Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning dan investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.    Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
2.    Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
3.    Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
4.    Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
5.    Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

§  Latar Belakang Gerakan Asaat
Untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing, khususnya Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan tersebut memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna,karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.

7.  Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
1.   Membentuk Dewan Nasional.
2.  Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3.  Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB.
4.  Perjuangan pengembalian Irian Jaya.
5.   Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan.

Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu :
1.   Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Artinya keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam peraturan lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis dasar sewaktu air surut. Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores dan lain sebagainya. Melalui Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia, dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
2.  Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3.  Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.   Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.  Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3.  Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

§  Gerakan PRRI/PERMESTA
1.   Jalannya Pemberontakan
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
ü  Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat,
ü  Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.
ü  Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I.
ü  Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara.
Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB). Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur . Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.

Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin. 



Ya, itulah sedikit ulasan tentang kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal. 
Oke Guys, Semoga Ulasan ini Bermanfaat. 
Terus kunjungi blog saya ya ^_^

See U in the next Post ^_^ 

Demokrasi Liberal

Sabtu, 30 September 2017
Posted by Unknown

// Copyright © Erfi Ana //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //