Newest Post
Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan
Perekonomian
1)
Gerakan Benteng
Situasi
perekonomian Indonesia sebelum tahun 1950 sampai dengan bulan Juni 1950,
tingkat inflasi melambung dengan cepat, nilai uang merosot tajam, demikian pula
dengan kondisi neraca pembayaran Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan
bertambah tingginya angka pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.
Dalam penulisan ini penulis akan memulai dari mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng pada saat kabinet Natsir, kabinet Soekiman, dan pada kabinet Wilopo. Serta, bagaimana implementasinya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng baik pada pengusaha pribumi, pengusaha asing serta pada perekonomian Indonesia.
Dalam penulisan ini penulis akan memulai dari mengapa pemerintah memberlakukan kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng pada saat kabinet Natsir, kabinet Soekiman, dan pada kabinet Wilopo. Serta, bagaimana implementasinya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng dan bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan diberlakukanya Sistem Ekonomi Gerakan Benteng baik pada pengusaha pribumi, pengusaha asing serta pada perekonomian Indonesia.
Kebijaksanaan
Benteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak
bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini
diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan
menempatkan satu sector ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk
mencapai tujuan ini, berbagai lisensi impor disalurkan kepada pengusaha
nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat
dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain,
seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri
subtitusi-impor.
Pada
dasarnya kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini memiliki tujuan yang
baik, namun banyaknya masalah yang dihadapi negara dan SDM pengusaha yang
kurang mengakibatkan kebijakan ini tidak berhasil.
Pada
tahun 1945, Indonesia telah mencapai kemerdekan setelah lama berjuang.
Indonesia mulai membenahi diri di berbagai bidang guna menjadi bangsa yang
mandiri dan sejahtera. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia
khususnya di bidang ekonomi. Untuk membenahi ekonomi tersebut, telah
diberlakukan berbagai kebijakan, hal ini mulai dilakukan sejak tahun 1945.
Sebagai contoh, pemerintah menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia, gerakan Plan Kasimo, Gerakan Gunting Syafruddin dan masih banyak
lagi. Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk membenahi kondisi ekonomi.
Kebijaksanaan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir, dimana
kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para
pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha
pribumi.
Sistem
Ekonomi Gerakan Bernteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak
lain dan tidak bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di
Indonesia. Upaya ini diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta
pribumi yang tangguh dengan menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu
perdagangan impor. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor
disalurkan kepada pengusaha nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan
dengan modal yang dapat dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan
diversifikasi ke bidang-bidang lain, seperti perkebunan besar, perdagangan
dalam negeri, asuransi dan indutri subtitusi-impor.
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Pertama, pada kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini bisa menjadi berkembang dan maju. Nasionalisasi ekonomi dalam program benteng yang dicanangkan dan diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi negara atas lembaga ekonomi dan perundang-undangan yang diterapkan pada tahun 1950-an.
Kedua,
implementasi pokok dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para
importir nasional agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk
Cina. Karena masalah keterbatasan anggaran dana dan juga keterbatasan wawasan
pengusaha pribumi yang melekat pada Program Benteng tersebut, pemerintah
melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu,
misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif. Pemerintah mengadakan seleksi
terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan tujuan
menyehatkan perdagangan Indonesia. Pada masa itu, sulit bagi pengusaha atau
pedagang baru yang belum manjadi anggota Benteng Group untuk mencatat diri
sebagai anggotanya. Pemerintah berniat agar pengusaha-pengusaha baru dapat
tersebar di seluruh Indonesia. Politik ini bukan saja mengenai importer, bahkan
perusahaan dan dunia perdagangan harus tersebar di seluruh Indonesia.
Kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng antara tahun 1950-1953 merupakan indonesianisasi
yang dipaksakan oleh pemerintah dan mengakibatkan gagalnya tumbuhnya investasi
kapital asing (Belanda) . Indonesianisasi bersamaan dengan industrialisasi pada
zaman tahun-tahun awal pemerintahan Sukarno mendapatkan momentum kembali meski
dalam ruang yang masih terbatas. Indonesianisasi yang penting adalah pengakuan
atas identitas etnik yang menyatu dalam perdagangan dan manufaktur dalam
usaha-usaha baru yang dibentuk.
Kajian
historis terhadap proses perubahan sosial-ekonomi pribumi dalam lintasan tiga
zaman ini mendapatkan fakta-fakta menarik yang saling terkait antara
peristiwa-peristiwa sejarah natural seperti terjadinya malaise, perang revolusi
dan dekolonisasi. Tampak bahwa secara makro, perubahan ekolnomi pribumi sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan yang mendorong rakyat mengembangkan
kreatifitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup pada masa-masa sulit.
Perekonomian Indonesia
Pasca Kemerdekaan
Dalam
tahun-tahun berikutnya memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan,
banyak energi dan sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk
pembangunan ekonomi, justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian
Barat. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno tak henti-hentinya menekankan
bahwa perjuangan untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda dan hal
tersebut merupakan kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah
Indonesia. Meskipun pemimipin-pemimpin nasional lainnya setuju bahwa masalah
Irian Barat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, beberapa di
antara mereka berpendapat bahwa sebaiknya konflik dengan Belanda tentang
Masalah Irian Barat di bahas secara tidak mencolok melalui saluran diplomatik
biasa, karena Indonesia pada waktu itu sedang menghadapi berbagai masalah
lainnya, termasuk masalah ekonomi yang perlu segera di tanggulangi. Ironis
memang peraturan yang baru dikeluarkan yang pada dasarnya untuk menekan para
pengusaha-pengusaha asing agar tidak memonopoli produk import namun justru juga
merugikan bagi para pengusaha import pribumi sendiri. Dari sinilah maka muncul
pemikiran dari seorang tokoh ekonomi yang sekian lam berkelana ke luar negeri
dan dipanggil kembali ke Indonesia guna menyeleseikan masalah dan persoalan
bangsa terutama di bidang perekonomian.
Perhatian
terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada
hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Yang perlu dilakukan adalah
mengubah struktur ekonomi pada umumnya dari ekonomi kolonial ke ekonomi
nasional. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo mencoba mempraktekkan pemikirannya itu
pada sektor perdagangan. Beliau berpendapat bahwa pada bangsa Indonesia harus
selekas mungkin ditumbuhkan kelas pengusaha. Dan semenjak itu Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dalam
Kabinet Natsir.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah , diberi kesempatan untuk berpartisipasi membangun perekonomian bangsa Indonesia. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut, baik dalam bentuk bimbingan konkret atau dengan bantuan kredit, karena pemerintah menyadari bahwa pengusaha-pengusaha Indonesia pada umumnya tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usahanya agar lebih maju dan berkembang serta dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing yang ada di Indonesia. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan dapat berkembang maju, maka tujuan mengubah struktur ekonomi kolonoal dibidang perdagangan akan tercapai.
Gagasan Dr. Soemitro Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September 1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan para penguasah-pengusaha asing.
Implementasi
nasionalisasi ekonomi dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang dicanangkan dan
diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi
negara atas lembaga ekonomi dan perundanga-undangan yang diterapkan pada tahun
1950-an. Implementasi pokok dari Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang kelihatan
adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan
pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Akibat
dari kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng maka pemeriksaan barang eksport
akan diperketat, untuk menghapus klaim atas kwalitet dan bungkusan
barang-barang eksport. Karena banyaknya para pengusaha-pengusaha pribumi yang
menginginkan ikut serta dalam kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng
tersebut, pemerintah melakukan penyaringan ketat guna mengeliminasi importer
semu atau tidak mampu, misalnya dengan melakukan modal aktif atau pasif.
Pemerintah
mengadakan seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan
impor, dengan tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Ditinjau dari segi
pengendalian nasional atas perdagangan impor, kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan
Benteng berhasil karena pada pertengahann tahun 1950-an lebih dari 70 persen
dari perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. Namun
dalam waktu singkat sudah keliatan bahwa kebijakan Sistem Ekonomi gerakan
Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan banyaknya ”importir
aktentas”, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan peluang dengan baik untuk
memperoleh ketrampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru
menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan importir
etnis Cina.
Hal
ini termasuk kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh,
akhirnya mendorong pemerintah Indonesia segara menghapus kebijakan Sistem
Ekonomi gerakan Benteng sekitar tahun 1953-an. Karena kebijakan Sistem Ekonomi
gerakan Benteng dianggap sebagai upaya pokok untuk pengembangan wiraswasta
nasional, maka kegagalan kebijakan ini menciptakan iklim yang condong untuk
menasionalisasikan usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan
wiraswsata nasional.
2)
Kebijakan Gunting Syafruddin
a.
Sanering
Pada
tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama
"gunting syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi
dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB
(bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank
Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
· Gunting
Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada
jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
· Gunting
Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi
(khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut
kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank
dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai
semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April,
bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan
tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian
kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan
kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara
sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan
bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan
di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula
uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi
situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk,
inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut,
bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga
barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya
diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada
tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp
1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp
50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus
menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember
1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti
juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno
membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara
televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik
Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin.
Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50
persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli
tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada
tanggal 13 Desember 1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan
drastis dari nilai Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno
melakukan sanering akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen).
Harga-harga kebutuhan pokok naik setiap hari sementara pendapatan per kapita
hanya 80 dolar US.
Sebelum
sanering, pada bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp
250/ liter (naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh
puluh lima) dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah
sanering ternyata bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik.
Pada tanggal 21 Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp
500/ liter & harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr
(naik 2 kali).
Sesudah
itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis
moneter di Asia pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah
mulai April 1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us
$ menjadi rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat
money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian
nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti,
buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang
sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu
tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin
banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering
Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai
uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun. Dampak dari sanering, menimbulkan banyak
kerugian karena daya beli turun drastis. Tujuan dari sanering, mengurangi
jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program
sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati
ambruk karena hiper inflasi.
Nilai
uang terhadap barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah
menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat
dilakukan, dalam kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi
(hiperinflasi). Masa transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan
dilakukan secara tiba-tiba. Contoh: Pada sanering, bila terjadi
sanering per seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau
0,001 liter bensin.
b.
Redonominasi
Topik
yang sedang menarik perhatian publik saat ini adalah redenominasi rupiah.
Rencana Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang
kritik dari berbagai pihak dari ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku
bisnis dan lain-lainnya. Bank Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah
tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam
redenominasi meski tiga angka nol terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi
Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi
pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak
dari Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli
tetap sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta
merepotkan pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar
bagi perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar
Belakang Kebijakan Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan
redenominasi atas mata uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset
World Bank yang menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata
uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah
air Rp 100.000, hanya kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan
dari Redenominasi, menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman
dalam melakuan transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi
Indonesia dengan negara regional. Nilai uang terhadap barang dari
Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan
pecahan uang saja yang disesuaikan.
Kondisi
saat dilakukannya Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro
ekonomi stabil. Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa
transisi, Redenominasi dipersiapkan secara matang dan terukur sampai
masyarakat siap, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
3)
Nasionalisasi De Javasche Bank
Pada
tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai
macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan
sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan
menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya
serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat
membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan
pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.
Pada
16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang
akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas
bantuan Raja Willem I, maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank
sirkulasi milik pemerintah Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham
milik De Javasche Bank adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel
Maatschappij (NHM) dan beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal
Du Bus de Gisignies. Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann
dinyatakan sebagai Presiden De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai
sekretarisnya. De Javasche Bank seara resmi beroperasi setelah mengalami
berbagai macam struktur organisasinya adalah pada tanggal 20 April 1830.
Pada
tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari
segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan.
Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank
berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a.
Mengeluarkan uang kertas.
b.
Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c.
Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.
Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat
berharga atau barang dagangan.
e.
Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek
kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.
Menyelenggarakan kliring antarbank.
Dalam
periode ini, De Javasche Bank telah berkembang pesat. Selain kantor pusatnya di
Batavia, De Javasche Bank telah memiliki 16 kantor cabang, yaitu Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja,
Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado. Serta
terdapat beberapa kantor lainnya diluar negeri seperti Amsterdam, Belanda, dan
New York, Amerika Serikat.
Yayasan
Pusat Bank Indonesia diberi wewenang oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan
sabagai bank umum yang memberi kredit, mengeluarkan obligasi, menerima
simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan
penerangan dalam bidang ekonomi. Hal itu dilakukan karena dirasa tidak mungkin
mendirikan bank negara dengan waktu yang singkat. Barulah tanggal 17 Agustus
1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu Bank
Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.
Pasca
berakhirnya Perang Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang
termasuk dalam bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi
bank sirkulasi dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang
menjadi titik beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua
yaitu wilayah pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang
dikuasai NICA. Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca
kemenangan sekutu atas Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang
perekonomian, di wilayah Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral
yang bernama Bank Negara Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral
dipegang oleh De Javasche Bank.
Selama
periode 1945-1949 De Javasche Bank terus membuka cabang-cabang kantornya di
beberapa kota di Indonesia. De Javasche Bank terus bertahan meskipun pada
periode tersebut, terjadi peperangan sengit antara pro-republik Indonesia
dengan pasukan NICA. Barulah pasca KMB terdapat suatu peraturan yang
mengukuhkan DJB sebagai bank sirkulasi/bank sentral di wilayah Republik
Indonesia Serikat. Sementara BNI yang sebelumnya adalah bank sentral milik
pemerintah RI ditugaskan sebagai bank pembangunan.
De
Java Bank merupakan bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah
kekuasaan modal asing. memang sangat aneh bank ini terletak di Indonesia namun
kekuasaan dipegang oleh orang asing. Dari situlah pemerintah Indonesia merasa
risau dan berupaya untuk menjadikan bank ini menjadi milik bangsa Indonesia
secara murni tanpa campur tangan orang asing, dengan melakukan nasionalisasi De
Javache Bank. Tujuan nasionalisasi ini bertujuaan untuk memulihkan perekonomian
bangsa Indonesai pasca gangguan dari Benda, selain itu Pemerintah juga
menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga Indonesia harus mengambil
ketegasan.
Alasan
dilakukan Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Desakan
nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah
Indonesia sejak Indonesia berdiri. Namun, pelaksanaan konkritnya baru
terasa pasca KMB atau tepatnya pada tahun 1951. Menteri Keuangan saat itu,
Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk
menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Dan berlanjut menyampaikannya
kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu
saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang
terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet (Ketua Panitia),
Moh. Soediono, Soemitro Djojohadikusumo dan lain-lain.
Dalam
proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19
Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak
Belanda. Sikap pemerintah mengenai nasionalisasi DJB ini hanya berarti
pelaksanaa saja dari pernyataan di KMB. Panitia nasionalisasi oleh
pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan
mengadakan berbagai negoisasi nasionalisasi DJB atas nama Pemerintah RI. Selain
itu, panitia ini juga berhak memberikan usulan kepada pemerintah mengenai tata
cara nasionalisasi serta mengajukan usulan RUU Nasionalisasi. Pada 15 Desember
1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24
tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Telah disahkannya
undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai
bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Untuk sementara aturan
operasional DJB masih didasarkan pada De Javasche Bankwet 1922.
Langkah
berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank
sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan
Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. Pada tanggal 10 April
1953, Parlemen telah selesai membicarakannya dan memberikan persetujuan
atas RUU tersebut setelah mengadakan beberapa perubahan yang penting di
dalamnya. Pada tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut telah disahkan oleh Presiden
Soekarno dan diumumkan pada 2 Juni 1953. Dan pada akhirnya, UU No. 11 Tahun
1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli
1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia.
Dengan
lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di
bidang ekonomi dan moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada
akhirnya Indonesia mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan
tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa
dengan Bank Indonesia sebagai ujung tombaknya.
4)
Pembentukan Biro Perancang Negara
Pemerintah
Letjen Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera
mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat
pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas Kabinet Ampera disebut Dwidarma Kabinet
Ampera. Program kerjanya disebut Caturkarya yang isinya adalah mencukupi
kebutuhan sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum(pemilu); melaksanakan
politik luar negeri bebas aktif; dan melanjtkan perjuangan antiimperialisme dan
kolonialisme.
Jenderal
Soeharto melanjutkan pembangunan yang telah dilakukan Kabinet Ampera dengan
membentuk cabinet pembangunan pada tanggal 6 juni 1968. Tugas pokok Kabinet
Pembangunan disebut Pancakrida. Dalam upaya melaksanakan pembangunan dibidang
ekonomi, pemerintah Jenderal Soeharto yang dikenal juga sebagai pemerintahan
Orde Baru melaksanakannya melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Repelita
dilaksanakan mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru
diarahkan pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari
produksi nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan
Indonesia memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran
pembangunan dalam Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan
prasarana, rumah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Jangka waktu pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu
program pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang.
Program pembangunan jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima
tahun), adapun program pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan
jangka pendek yang saling berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang
direncanakan selama 25 tahun. Modernitas memerlukan sarana, salah satunya
dengan pengadaan sarana fisik. Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan
dalam system pembangunan nasional yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan
Lima Tahun (PELITA).
1)
Pelita I
Pada 1 April 1969 dimulailah pelaksanaa pelita
1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini, orde baru menyelesaikan fase
stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat menciptakan keadaan yang stabil.
Selama beberapa tahun, sebelum orde baru keadaan ekonomi mengalami kemerosotan.
Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata 25% per tahun, dalam periode 1960-1965
harga-harga meningkat dengan laju rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju
inflasi mencapai puncaknya, yaitu 650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut
terjadi di segala bidang akibat kepentingan ekonomi dikorbankan demi
kepentingan politik.
Pada masa orde baru,
kemerosotan ekonomi dapat dikendalikan. Pada 1976, laju inflasi dapat ditekan
menjadi 120%, atau seperlima dari tahun sebelumnya. Pada 1968, inflasi dapat
ditekan lagi menjadi 85%. Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian
dimulailah pelaksanaan pelita 1 pada tahun 1969. Adapun titik berat pelita 1
adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector pertanian.
Adapun sasaran pelita 1, yaitu meningkatkan
pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita 1 termasuk pembiayaannya
selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang sesuai ketentuan UUD 1945.
2)
Pelita II
Pelita 1 berakhir pada
31 Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan
pelita I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali
jendral soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971
berhasil pula menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN
1973 terdapat rumusan pelita II, yaitu :
a)
Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat;
b) Tersedianya
bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan masyarakat;
c)
Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)
Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)
Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan
pelita II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program
kerja cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang
meliputi:
a)
Meningkatkan stabilitas politik;
b)
Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)
Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)
Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)
Melaksanakan pemilihan umum.
3) Pelita
III
Pada 31 Maret 1979,
Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah
pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan
dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan
mencakup:
1) Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia;
2)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3) Stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis.
b) Delapan jalur pemerataan mencakup:
1)
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)
Bagi rakyat banyak;
3)
Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
4) Pemerataan
pembagian pendapatan;
5) Pemerataan
memperoleh kesempatan kerja;
6)
Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi
muda dan kaum wanita;
8)
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)
Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih
menjadi presiden RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk cabinet
pembangunan III. Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program
kerja cabinet pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang
meliputi:
1.
Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan
hasil pembangunan;
2.
Melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3.
Memelihara stabilitas keamanan yang mantap;
4.
Menciptakan aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5.
Membina persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan
dan pengamalan pancasila;
6.
Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7.
Mengembangkan politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada
kepentingan nasional.
4)
Pelita IV
Pelita
III berakhir pada 31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV
yang dimulai 1 april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan
diangkat kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden
seharto membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah
pembangunan sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri,
baik untuk mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.
Sasaran
pokok pelita IV yaitu sebagai berikut:
a) Bidang
politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan Pengamalan
Pancasila).
b) Bidang
pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan meningkatkan mutu
pendidikan.
c)
Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan
penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
5)
Pelita V
Pelita
IV berakhir pada 31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang
dimulai 1 April 1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan
program pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa
tinggal landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP
II), yang akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik
berat pelita V adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan
swasembada pangan dan meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector
industri, khususnya industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry
yang banyak tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi
yang seimbang antara industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah
maupun dari segi penyeraan tenaga kerja.
6) Pelita VI
Pelita
V berakhir pada 31 Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang
dimulai pada 1 April 1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu
menciptakan landasan yang kukuh untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan
memasuki proses tinggal landas menuju pelaksanaan program pembangunan jangka
panjang kedua (PPJP II) . Titik berat pelita VI diarahkan pada pembangunan
sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta
bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sasaran pembangunan industry dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran bidang ekonomi sesuai
amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry nasional yang mengarah
pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan penyebaran industry ke
seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur industry dengan
peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara, dan industry
hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry kecil, dan
industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan sector ekonomi
lainnya. Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia kea
rah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis
ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997.
Namun,
pelaksanaan PPJP II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter
melanda Indonesia. Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan
terjadinya gejolak social yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah
orde baru.
5)
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Pada
masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955),
menteri prekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru
yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara
pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang
diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan
penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua
tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan
pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar
dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Tujuan Dan Hambatan
Tujuan
dari program ini adalah:
i.
Untuk memajukan pengusaha pribumi.Agar
para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
ii.
Pertumbuhan dan perkembangan
pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional.
iii.
Memajukan ekonomi Indonesia perlu
adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Sistem
ekonomi ini kemudian didukung dengan :
·
Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit
dan lisensi bagi usaha swasta nasional .
·
Pemerintah memberikan perlindungan agar
pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing.
Sistem
ekonomi ini lebih menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog
tumbuh berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan
sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa
untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Memasuki
zaman pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah. Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini
diperparah dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat
produksi kedaerah konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah.
Sementara itu, jumlah uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus
mencetak uang tanpa kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai
proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan
Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin
tinggi dan mencapai hingga 300%. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan dengan pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang
Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan
pemerintah tersebut ternyata tidak menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem
Ali-Baba pada awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha
agar bisa memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana
segar pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena: Kredit yang digunakan ternyata tidak
digunakan secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka
mencari keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara
sepihak. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong
kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi.
Kegagalan
pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang
berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
Alasan kegagalan
Kabinet Ali
o
Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam
TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh
Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
TNI-AD.
o
Persaingan ideologi juga tampak dalam
tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh
pergolakan di daerah.
o
Persaingan antara kelompok agama dan
nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan
keadaan politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
o
Ingin menyatukan pengusaha pribumi &
tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan
dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi.
o
Orang-orang pribumi yang terlatih dan
berpengalaman terlalu sedikit.
o
Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat
dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing.
6) Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa
kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih
berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan
terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada
masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas
biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan
disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas
RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT
diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT
mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat
dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor
dan pendapatan negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan
melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan
gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak
daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Perekonomian
Sabtu, 28 Oktober 2017
Posted by Unknown
Kondisi Politik pada Masa
Demokrasi Liberal
Kembali lagi dengan saya ^_^
Nah kali ini, saya akan membahas tentang keadaan-keadaan Indonesia saat 7 kabinet pada Masa Demokrasi Liberal
Oke.. Langsung aja.
Selamat Membaca.
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan
Republik Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga
disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang
dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab
pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota
parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal
adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang
cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap
kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha
pembentukan partai (kabinet formatur). Bila dalam perjalanannya kemudian salah
satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan
mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang (umumnya ketua
partai) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka
kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila
memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi
percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia
akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama
sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet
hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal
adalah :
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Kabiet ini
dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai
perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar
dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai.
Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana
tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda
mengalami jalan buntu (kegagalan).
2.
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII,
Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Hasil atau
prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir:
1.
Berhasil melangsungkan perundingan antara
Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.Berakhirnya
kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.
2.
PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai
DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen
tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21
Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Penyebab Runtuhnya Kabinet Natsir :
Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan
adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi- tradisi otoriter,
maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan negeri
itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan
kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan- harapan
tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Akan tetapi,
pada tahun 1957, percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan,
korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum
tercapai, masalah- masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang
ditimbulkan oleh Revolusi tidak terwujud.
Suatu ketidakefisienan dalam suatu
pemerintahan pastilah terjadi. Program- program yang telah direncanakan oleh
pemerintah dan disusun dengan sebaik- baiknya, bisa saja dalam pelaksanaannya
terjadi suatu ketimpangan. Atau bisa juga semua persiapan, perencanaan, dan
pelaksanaan sudah sangat demikian baiknya, namun masih adanya ketidakpuasan
yang dialami oleh masyarakat.
Sistem pemerintahan yang pernah ada di
Indonesia tentunya pernah mengalami suatu masa kejayaan. Akan tetapi, setelah
kejayaan tersebut diraih sesuai dengan siklus sejarah maka suatu pemerintahan
akan mengalami suatu penurunan hingga tibalah saat- saat keruntuhannya. Begitu
pula dengan kabinet Natsir, setelah berhasil memimpin dan menata Indonesia, ada
beberapa hal yang menjadi penyebab runtuhnya kabinet Natsir.
Penyebab jatuhnya kabinet Natsir
dikarenakan kegagalan kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dan
adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan peraturan pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS.
Kabinet natsir didimisioner sejak 21 Maret
1951 dan mengundurkan diri setelah DPR menerima mosi S. Hadikusumo tentang
pencabutan PP Nomor 39/1950 tentang pembekuan DPRD. Menteri Asaat (Menteri
Dalam Negeri) tidak menyetujui mosi tersebut dan kabinet sependapat dengan
Asaat, maka kemudian mengundurkan diri. Kabinet Natsir mengundurkan diri karena
tidak mau menerima mosi DPR, walaupun Kabinet belum di jatuhi Mosi Tidak
Percaya dari DPR ini menjadi sifat dari Kabinet-kabinet pada masa UUDS 1950,
walaupun sistem yang dianut oleh UUDS 1950 adalah perlementer, dimana parlemen
dapat menggulingkan Kabinet, tetapi sepanjang 1950-1959 kabinet tidak hanya
mosi tidak percaya, tetapi suara-suara luar kabinet sudah menyebabkan Kabinet
mengundurkan diri.
2. Kabinet Soekiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Setelah Kabinet
Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua
PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet
koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan,
sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28
hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden
Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo
(Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi
dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo
(PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.
Menjamin keamanan dan ketentraman.
2.
Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.
Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.
Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5.
Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang
pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan
penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman :
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman :
1.
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut:
1.
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran.
2.
Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas
aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
3.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya
korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang
mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak
dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Partai-partai
pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam
pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun
kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih
keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri Dalam
Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang
terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga
mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan
ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konfik kepentingan.
Kebijakan
lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen
adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan
SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa
persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini
ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang
mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri
kehakiman.
Kondisi
Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari
Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan
perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo
dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota
Jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa
Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota Menteri Luar Negeri ini
memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini
dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat
memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang
dari asas politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh
pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului
pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun
kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.
3. Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)
Pada tanggal 1
Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto
Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo
dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk
kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet
Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
1.
Program dalam negeri :
o Menyelenggarakan
pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD).
o Meningkatkan
kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.
Program luar negeri :
o
Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda.
o
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
o
Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet
ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali
kendala yang muncul antara lain sebagai berikut :
1.
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena
jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus
meningkat.
2.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang
berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga
membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
3.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme
yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan
akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
4.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya
pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak
senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD
kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya
surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan
keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di
berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut
diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan
KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna
menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
5.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB
pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki
tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan
pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara
dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 munculah aksi
kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah
dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani
terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara
aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli).
§ Latar Belakang
Peristiwa
Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang
hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh
Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh
sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya.
Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan
pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah
pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang
anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela
tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani
Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan
sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
§ Kronologi
Peristiwa
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur merencanakan
untuk mencetak sawah percontohan
di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi
areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka
terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk
memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan
pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi
massa PKI. Oleh karena
cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa
mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk
menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka
pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka
bertindak brutal. Polisi
melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka
berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal
dan luka-luka.
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus
1955)
Kabinet keempat
adalah kabinet Ali Sastroamidjojo. Betapapun kabinet ini tanpa dukungan
Masyumi, namun kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari
berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU.
Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia
Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
1.
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
2.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali
persetujuan KMB.
4.
Penyelesaian Pertikaian politik.
Hasil atau prestasi
yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu :
1.
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen
yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
2.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika, terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti:
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika, terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti:
1.
Berkurangnya ketegangan dunia.
2.
Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan
politik rasdiskriminasi di negaranya.
3.
Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB,
karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga
dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang
menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan
kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf
AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya
mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak
pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika
terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi
yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan
serah terima dengan KSAD baru.
3.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi,
dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
4.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
5.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan,
NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya.
§ Kemunduran
Kabinet Ali Sastroamijoyo I
Sama seperti nasib dari
kabinet-kabinet sebelumnya, pada akhirnya Kabinet Ali Satroamijoyo I pun
kemudian berakhir dengan mengundurkan diri. Alasan pengunduran ini adalah
karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi dengan baik. Memang pada
saat itu banyak sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di
daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan
kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga
semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan
utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh
PNI sendiri juga menjadi alasan utama.
NU, tidak puas terhadap kinerja
kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan
yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya
pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk
mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti
oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini
kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan
Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan
kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap
korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali
Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni.
Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun
mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya
pada tanggal 24 Juli 1955.
5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret
1956)
Kabinet Ali
selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap
berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1.
Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
3.
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
4.
Perjuangan pengembalian Irian Barat.
5.
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar
negeri bebas aktif.
Hasil atau
prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap :
1.
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29
September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai
yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat
dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat
tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
4.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet
Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini :
1.
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap
menimbulkan ketidaktenangan.
2.
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin
dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet
sehingga kabinetpun jatuh.
3.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab
pada parlemen yang baru pula.
§ Latar Belakang
Pada tanggal 29 Juli 1955, Mohammad
Hatta mengumumkan 3 orang formatur untuk membentuk kabinet baru. Ketiga
formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat
(nonpartai).
Ketiga formatur itu mencapai kesepakatan dan persetujuan menempatkan Mohammad
Hatta sebagai perdana menteri dan mentri pertahanan. Namun kesulitan
muncul karena Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil Presiden. Kemudian muncul
perbedaan pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur mengusulkan kepada Soekarno
untuk mengnonaktifkan Mohammad Hatta dari jabatan dari jabatan wakil Presiden
selama ia menjadi perdana mentri. Dalam pembahasan masalah itu ketiga formatur
tidak mencapai titik temu.
Pada tanggal 3 Agustus 1955,
ketiga formatur mengembalikan mandat. Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanudin
Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Dalam program kabinet Burhanudin
Harahap masalah pemilihan umum masih juga menjadi perhatian. Sesuai dengan
rencana semula, pemilihan umum untuk anggota parlemen akan diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955 dan untuk pemilihan anggota Konstituante pada tanggal
15 desember 1955.
Selama tiga bulan pertama sejak
Indonesia merdeka Indonesia hanya menganut dan mengenal partai tunggal yaitu
PNI yang didasarkan pada keputusan PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya
pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP, pemerintah mengeluarkan
maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat agar mendirikan partai-partai
politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai dengan Desember 1945 tidak
kurang 9 partai lahir.
§ Pelaksanaan Pemilu
Di dorong oleh kesadaran untuk
menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakt menuntut diadakan pmilu. Pesiapan
pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. pemerintah membntuk panitia
pemilu pada bulan Mei 1954. Panitia tersebut merencanakan pelaksanaan pemilu dalam
dua tahap, yaitu :
1. Pemilu tahap pertama akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
2. Pemilu tahap kedua akan dilaksanakan
pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (dewan pembuat
UUD)
Meskipun Kabinet Ali Jatuh,
pemilu terlaksana sesuai dengan rncana semasa kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat
Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan
dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak
manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun
1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang.
Pemilu 1955 sekalipun merupakan
yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia ternyata mempunyai beberapa catatan
positif, antara lain :
1. Tingkat partisipasi rakyat sangat
besar ( + 90 % dari semua warga punya hak pilih).
2. Prosentase suara yang sah cukup
signifikan ( + 80 % dari suara yang masuk) padahal + 70
% penduduk Indonesia masih buta huruf.
3. Pelaksanaannya berjalan secara aman,
tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.
Adapun
catatan negatifnya, yaitu :
1. Adanya
krisis Ketatanegaraan.
Hal tersebut memicu lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, mengapa? Karena akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam
menghasilkan konstitusi baru.
2. Tidak ada
parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.
Tidak adanya pemenang mayoritas pada saat itu
mengakibatkan sistem pemerintahan tak stabil karena kekuasaan terbagi bagi ke
dalam berbagai aliran politik.
3. Kekecewaan
di Partai Politik.
Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada
berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya
hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Beberapa pemimpin Masyumi merasa
bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa
perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat
rakyat jelata.
§ Hasil Pemilu I
Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi
(57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis
Indonesia (39 kursi/15,4%).
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257
kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya
diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa
dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu
1955 adalah 272 orang.
§ Hasil
Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret
1957)
Ali
Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada
tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI,
Masyumi, dan NU.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
1.
Perjuangan pengembalian Irian Barat.
2.
Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD.
3.
Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.
Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.
Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah :
Selain itu program pokoknya adalah :
a.
Pembatalan KMB.
b.
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima
tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
c.
Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil
atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah
kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik
tolak dari periode planning dan investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh
perjanjian KMB.
Kendala/
Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1. Berkobarnya
semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
2. Memuncaknya
krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan
pembangunan di daerahnya.
3. Pembatalan KMB
oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha
Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada
orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan
yang dapat melindungi pengusaha nasional.
4. Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa
mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
5. Mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
§ Latar Belakang
Gerakan Asaat
Untuk
meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat
memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala
aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing,
khususnya Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan
lisensi khusus pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan
tersebut memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan
Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi
bangsa Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia
untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena
langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi
sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang
kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr.
Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat
bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan
oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap
hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif
dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan
Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi
sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna,karena sebenarnya yang dikehendaki
oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa
kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia.
Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi
terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu
membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.
7. Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Kabinet ini
merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
1.
Membentuk Dewan Nasional.
2.
Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3.
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB.
4.
Perjuangan pengembalian Irian Jaya.
5.
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan.
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang
terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah
ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet
Djuanda yaitu :
1.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia
melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut
teritorial. Artinya keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi
Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam peraturan
lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis dasar
sewaktu air surut. Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah Indonesia akan
terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores dan lain sebagainya. Melalui
Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia, dimana lautan
dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan
menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan
presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem
demokrasi terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab
pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan
daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga
program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai
puncaknya.
3.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang
menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
§ Gerakan PRRI/PERMESTA
1. Jalannya Pemberontakan
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
ü Melepaskan hubungan sementara dengan
pemerintah pusat,
ü Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak
lagi mengakui kabinet Djuanda.
ü Mulai tanggal 22 desember 1956
mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I.
ü Melalui pengumuman tersebut maka
resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara.
Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan
melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa
karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang
mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB). Kericuhan juga terjadi di
Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual
mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan
tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa
penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera
dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di
kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal
2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta
[Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur .
Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara
dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje
Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat
Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer
untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam
Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan
saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan
di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10
Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri
Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian,
Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara,
Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum
perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk
mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian
ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari
RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum
tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah
memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut
agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di
bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di
Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut,
bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah
Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di
Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum
separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara
dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan
menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur
PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan
ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta
dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat
sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak
puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga
mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self
determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
Kabinet Djuanda
berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Ya, itulah sedikit ulasan tentang kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal.
Oke Guys, Semoga Ulasan ini Bermanfaat.
Terus kunjungi blog saya ya ^_^
See U in the next Post ^_^