Newest Post
Archive for September 2017
Kondisi Politik pada Masa
Demokrasi Liberal
Kembali lagi dengan saya ^_^
Nah kali ini, saya akan membahas tentang keadaan-keadaan Indonesia saat 7 kabinet pada Masa Demokrasi Liberal
Oke.. Langsung aja.
Selamat Membaca.
Pada tahun 1950, Negara Kesatuan
Republik Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) atau juga
disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan yang
dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung jawab
pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan anggota
parlemen.
Ciri utama masa Demokrasi Liberal
adalah sering bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang
cukup banyak, tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak. Setiap
kabinet terpaksa didukung oleh sejumlah partai berdasarkan hasil usaha
pembentukan partai (kabinet formatur). Bila dalam perjalanannya kemudian salah
satu partai pendukung mengundurkan diri dari kabinet, maka kabinet akan
mengalami krisis kabinet. Presiden hanya menunjuk seseorang (umumnya ketua
partai) untuk membentuk kabinet, kemudian setelah berhasil pembentukannya, maka
kabinet dilantik oleh Presiden.
Suatu kabinet dapat berfungsi bila
memperoleh kepercayaan dari parlemen, dengan kata lain ia memperoleh mosi
percaya. Sebaliknya, apabila ada sekelompok anggota parlemen kurang setuju ia
akan mengajukan mosi tidak percaya yang dapat berakibat krisis kabinet. Selama
sepuluh tahun (1950-1959) ada tujuh kabinet, sehingga rata-rata satu kabinet
hanya berumur satu setengah tahun. Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal
adalah :
1. Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951)
Kabiet ini
dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai
perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar
dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai.
Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana
tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.
Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda
mengalami jalan buntu (kegagalan).
2.
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII,
Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Hasil atau
prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir:
1.
Berhasil melangsungkan perundingan antara
Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.Berakhirnya
kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS.
2.
PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai
DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen
tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21
Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Penyebab Runtuhnya Kabinet Natsir :
Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan
adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi- tradisi otoriter,
maka banyak hal bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan negeri
itu. Akan tetapi, sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan
kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan- harapan
tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Akan tetapi,
pada tahun 1957, percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan,
korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum
tercapai, masalah- masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang
ditimbulkan oleh Revolusi tidak terwujud.
Suatu ketidakefisienan dalam suatu
pemerintahan pastilah terjadi. Program- program yang telah direncanakan oleh
pemerintah dan disusun dengan sebaik- baiknya, bisa saja dalam pelaksanaannya
terjadi suatu ketimpangan. Atau bisa juga semua persiapan, perencanaan, dan
pelaksanaan sudah sangat demikian baiknya, namun masih adanya ketidakpuasan
yang dialami oleh masyarakat.
Sistem pemerintahan yang pernah ada di
Indonesia tentunya pernah mengalami suatu masa kejayaan. Akan tetapi, setelah
kejayaan tersebut diraih sesuai dengan siklus sejarah maka suatu pemerintahan
akan mengalami suatu penurunan hingga tibalah saat- saat keruntuhannya. Begitu
pula dengan kabinet Natsir, setelah berhasil memimpin dan menata Indonesia, ada
beberapa hal yang menjadi penyebab runtuhnya kabinet Natsir.
Penyebab jatuhnya kabinet Natsir
dikarenakan kegagalan kabinet ini dalam menyelesaikan masalah Irian Barat dan
adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan peraturan pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS.
Kabinet natsir didimisioner sejak 21 Maret
1951 dan mengundurkan diri setelah DPR menerima mosi S. Hadikusumo tentang
pencabutan PP Nomor 39/1950 tentang pembekuan DPRD. Menteri Asaat (Menteri
Dalam Negeri) tidak menyetujui mosi tersebut dan kabinet sependapat dengan
Asaat, maka kemudian mengundurkan diri. Kabinet Natsir mengundurkan diri karena
tidak mau menerima mosi DPR, walaupun Kabinet belum di jatuhi Mosi Tidak
Percaya dari DPR ini menjadi sifat dari Kabinet-kabinet pada masa UUDS 1950,
walaupun sistem yang dianut oleh UUDS 1950 adalah perlementer, dimana parlemen
dapat menggulingkan Kabinet, tetapi sepanjang 1950-1959 kabinet tidak hanya
mosi tidak percaya, tetapi suara-suara luar kabinet sudah menyebabkan Kabinet
mengundurkan diri.
2. Kabinet Soekiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Setelah Kabinet
Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua
PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet
koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan,
sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28
hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden
Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro (PNI) dan Soekiman Wijosandjojo
(Masyumi) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi
dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman (Masyumi)-Soewirjo
(PNI) yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.
Menjamin keamanan dan ketentraman.
2.
Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.
Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.
Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5.
Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang
pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan
penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman :
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman :
1.
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut:
1.
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran.
2.
Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas
aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
3.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya
korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang
mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak
dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Partai-partai
pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam
pemerintahan, berusaha merealisasi program politik masing-masing, meskipun
kabinet telah memiliki program kerja tersendiri. Hal ini merupakan benih-benih
keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai contoh adalah Menteri Dalam
Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang
terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga
mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan
ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konfik kepentingan.
Kebijakan
lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara pemerintah dan parlemen
adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan
SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa
persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini
ditentang oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang
mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri
kehakiman.
Kondisi
Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari
Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan penandatanganan
perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo
dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota
Jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran yang berisi pernyataan bahwa
Indonesia bersedia menerima bantuan dari Amerika Serikat berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. Nota Menteri Luar Negeri ini
memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini
dianggap sebagai suatu langkah kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat
memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang
dari asas politik luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh
pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului
pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun
kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.
3. Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)
Pada tanggal 1
Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto
Mangkusasmito (Masyumi) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo
dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk
kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet
Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
1.
Program dalam negeri :
o Menyelenggarakan
pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD).
o Meningkatkan
kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.
Program luar negeri :
o
Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda.
o
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia.
o
Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet
ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali
kendala yang muncul antara lain sebagai berikut :
1.
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena
jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus
meningkat.
2.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang
berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga
membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
3.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme
yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan
akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
4.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya
pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak
senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD
kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya
surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan
keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di
berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut
diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan
KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna
menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
5.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB
pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki
tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan
pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara
dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 munculah aksi
kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah
dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani
terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara
aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli).
§ Latar Belakang
Peristiwa
Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan petani yang
hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini oleh
Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang diperoleh
sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati sebelumnya.
Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk menggagalkan
pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari pemerintah
pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah golongan yang
anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI, mencela
tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani
Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan
sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
§ Kronologi
Peristiwa
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur merencanakan
untuk mencetak sawah percontohan
di bekas areal perkebunan tembakau di desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Akan tetapi
areal perkebunan itu sudah ditempati oleh penggarap liar. Di antara mereka
terdapat beberapa imigran gelap Cina. Usaha pemerintah untuk
memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan menyediakan lahan
pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi
massa PKI. Oleh karena
cara musyawarah gagal, maka pada tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa
mentraktor areal tersebut dengan dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk
menggagalkan usaha pentraktoran, BTI mengerahkan massa yang sudah mereka
pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar Tanjung Morawa. Mereka
bertindak brutal. Polisi
melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka
berusaha merebut senjata polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal
dan luka-luka.
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus
1955)
Kabinet keempat
adalah kabinet Ali Sastroamidjojo. Betapapun kabinet ini tanpa dukungan
Masyumi, namun kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari
berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU.
Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia
Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
1.
Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera
menyelenggarakan Pemilu.
2.
Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.
Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali
persetujuan KMB.
4.
Penyelesaian Pertikaian politik.
Hasil atau prestasi
yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu :
1.
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen
yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
2.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika, terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti:
Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika, terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.
KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti:
1.
Berkurangnya ketegangan dunia.
2.
Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan
politik rasdiskriminasi di negaranya.
3.
Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB,
karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga
dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
2.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang
menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan
kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf
AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya
mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak
pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika
terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi
yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan
serah terima dengan KSAD baru.
3.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi,
dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
4.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
5.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan,
NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya.
§ Kemunduran
Kabinet Ali Sastroamijoyo I
Sama seperti nasib dari
kabinet-kabinet sebelumnya, pada akhirnya Kabinet Ali Satroamijoyo I pun
kemudian berakhir dengan mengundurkan diri. Alasan pengunduran ini adalah
karena banyak sekali masalah yang tidak bisa diatasi dengan baik. Memang pada
saat itu banyak sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di
daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan
kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga
semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan
utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh
PNI sendiri juga menjadi alasan utama.
NU, tidak puas terhadap kinerja
kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan
yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya
pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk
mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti
oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini
kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan
Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan
kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap
korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali
Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni.
Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun
mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya
pada tanggal 24 Juli 1955.
5. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret
1956)
Kabinet Ali
selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap
berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1.
Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.
Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah
ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
3.
Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
4.
Perjuangan pengembalian Irian Barat.
5.
Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar
negeri bebas aktif.
Hasil atau
prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap :
1.
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29
September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai
yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara
terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
2.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat
dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat
tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
4.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet
Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini :
1.
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap
menimbulkan ketidaktenangan.
2.
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin
dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet
sehingga kabinetpun jatuh.
3.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab
pada parlemen yang baru pula.
§ Latar Belakang
Pada tanggal 29 Juli 1955, Mohammad
Hatta mengumumkan 3 orang formatur untuk membentuk kabinet baru. Ketiga
formatur itu terdiri atas Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat
(nonpartai).
Ketiga formatur itu mencapai kesepakatan dan persetujuan menempatkan Mohammad
Hatta sebagai perdana menteri dan mentri pertahanan. Namun kesulitan
muncul karena Mohammad Hatta menjabat sebagai wakil Presiden. Kemudian muncul
perbedaan pendapat antara PNI dan Masyumi. Formatur mengusulkan kepada Soekarno
untuk mengnonaktifkan Mohammad Hatta dari jabatan dari jabatan wakil Presiden
selama ia menjadi perdana mentri. Dalam pembahasan masalah itu ketiga formatur
tidak mencapai titik temu.
Pada tanggal 3 Agustus 1955,
ketiga formatur mengembalikan mandat. Hatta kemudian menunjuk Mr. Burhanudin
Harahap (Masyumi) untuk membentuk kabinet. Dalam program kabinet Burhanudin
Harahap masalah pemilihan umum masih juga menjadi perhatian. Sesuai dengan
rencana semula, pemilihan umum untuk anggota parlemen akan diselenggarakan pada
tanggal 29 September 1955 dan untuk pemilihan anggota Konstituante pada tanggal
15 desember 1955.
Selama tiga bulan pertama sejak
Indonesia merdeka Indonesia hanya menganut dan mengenal partai tunggal yaitu
PNI yang didasarkan pada keputusan PPKI tanggal 22 Agustus 1945. Selanjutnya
pada tanggal 3 November 1945 atas usul BP. KNIP, pemerintah mengeluarkan
maklumat yang pokoknya menganjurkan kepada rakyat agar mendirikan partai-partai
politik. Maka sejak bulan November 1945 sampai dengan Desember 1945 tidak
kurang 9 partai lahir.
§ Pelaksanaan Pemilu
Di dorong oleh kesadaran untuk
menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakt menuntut diadakan pmilu. Pesiapan
pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. pemerintah membntuk panitia
pemilu pada bulan Mei 1954. Panitia tersebut merencanakan pelaksanaan pemilu dalam
dua tahap, yaitu :
1. Pemilu tahap pertama akan
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.
2. Pemilu tahap kedua akan dilaksanakan
pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante (dewan pembuat
UUD)
Meskipun Kabinet Ali Jatuh,
pemilu terlaksana sesuai dengan rncana semasa kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat
Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan
dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak
manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun
1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang.
Pemilu 1955 sekalipun merupakan
yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia ternyata mempunyai beberapa catatan
positif, antara lain :
1. Tingkat partisipasi rakyat sangat
besar ( + 90 % dari semua warga punya hak pilih).
2. Prosentase suara yang sah cukup
signifikan ( + 80 % dari suara yang masuk) padahal + 70
% penduduk Indonesia masih buta huruf.
3. Pelaksanaannya berjalan secara aman,
tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.
Adapun
catatan negatifnya, yaitu :
1. Adanya
krisis Ketatanegaraan.
Hal tersebut memicu lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, mengapa? Karena akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam
menghasilkan konstitusi baru.
2. Tidak ada
parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.
Tidak adanya pemenang mayoritas pada saat itu
mengakibatkan sistem pemerintahan tak stabil karena kekuasaan terbagi bagi ke
dalam berbagai aliran politik.
3. Kekecewaan
di Partai Politik.
Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada
berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya
hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Beberapa pemimpin Masyumi merasa
bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa
perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat
rakyat jelata.
§ Hasil Pemilu I
Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi
(57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis
Indonesia (39 kursi/15,4%).
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257
kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya
diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa
dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu
1955 adalah 272 orang.
§ Hasil
Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956-4 Maret
1957)
Ali
Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada
tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI,
Masyumi, dan NU.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut :
1.
Perjuangan pengembalian Irian Barat.
2.
Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya
anggota-anggota DPRD.
3.
Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.
Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.
Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah :
Selain itu program pokoknya adalah :
a.
Pembatalan KMB.
b.
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima
tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
c.
Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil
atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah
kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik
tolak dari periode planning dan investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh
perjanjian KMB.
Kendala/
Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1. Berkobarnya
semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
2. Memuncaknya
krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan
pembangunan di daerahnya.
3. Pembatalan KMB
oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha
Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada
orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan
yang dapat melindungi pengusaha nasional.
4. Timbulnya
perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa
mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
5. Mundurnya
sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
§ Latar Belakang
Gerakan Asaat
Untuk
meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat
memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala
aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing,
khususnya Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan
lisensi khusus pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan
tersebut memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan
Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi
bangsa Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia
untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena
langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi
sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang
kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr.
Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat
bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan
oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap
hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif
dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini
adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan
Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi
sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna,karena sebenarnya yang dikehendaki
oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa
kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia.
Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi
terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu
membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.
7. Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli 1959)
Kabinet ini
merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
1.
Membentuk Dewan Nasional.
2.
Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3.
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB.
4.
Perjuangan pengembalian Irian Jaya.
5.
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan.
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang
terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah
ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet
Djuanda yaitu :
1.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia
melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut
teritorial. Artinya keluarnya Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi
Djuanda mengatur tentang laut pedalaman dan laut teritorial. Dalam peraturan
lama disebutkan bahwa laut teritorial itu selebar 6 mil dari garis dasar
sewaktu air surut. Apabila hal itu diberlakukan, maka di wilayah Indonesia akan
terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores dan lain sebagainya. Melalui
Deklarasi Djuanda itulah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia, dimana lautan
dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan
menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan
presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem
demokrasi terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan
pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/masalah
yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut :
1.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab
pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan
daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga
program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai
puncaknya.
3.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang
menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
§ Gerakan PRRI/PERMESTA
1. Jalannya Pemberontakan
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :
1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.
2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
3. dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.
4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol. Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan :
ü Melepaskan hubungan sementara dengan
pemerintah pusat,
ü Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak
lagi mengakui kabinet Djuanda.
ü Mulai tanggal 22 desember 1956
mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan Tetorium I.
ü Melalui pengumuman tersebut maka
resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara.
Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan
melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa
karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang
mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB). Kericuhan juga terjadi di
Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual
mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan
tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa
penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera
dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di
kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal
2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta
[Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur .
Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara
dan Maluku.untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje
Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat
Van Oorlog en Bleg]. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer
untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam
Perjuangan Permesta .
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan
saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan
di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10
Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri
Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian,
Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara,
Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum
perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk
mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian
ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari
RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi Ultimatum
tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah
memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut
agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang , sedangkan di
bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di
Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut,
bahkan para perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah
Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di
Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum
separatis Permesta. Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara
dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan
menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur
PRRI . Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan
ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta
dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat
sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak
puas dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga
mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self
determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum pemberontak.
Kabinet Djuanda
berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Ya, itulah sedikit ulasan tentang kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Liberal.
Oke Guys, Semoga Ulasan ini Bermanfaat.
Terus kunjungi blog saya ya ^_^
See U in the next Post ^_^